Peran M. Jusuf. Amir Mahmud dan Basuki Rachmad dalam Supersemar
Soeharto membujuk para pengusaha
yang dekat dengan Soekarno, yaitu Dasaad dan Hasjim Ning agar mau menemui
Soekarno dan meyakinkannya agar menyerahkan jabatan presiden ke Soeharto.
Bujukan Soeharto memang berhasil. Para pengusaha itu datang menemui Soekarno.
Namun tidak membawa pulang hasil yang diharapkan. Para pengusaha yang dahulunya
begitu dekat dengan Soekarno, sekarang menjadi dicurigai. Soekarno menganggap
mereka berkomplot dengan Soeharto.
Saat terjadi huru-hara saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan
tanggal 11 Maret 1966 di Jakarta, Soekarno memutuskan pulang ke Istana Bogor.
Situasi itu dilaporkan kepada Soeharto yang tidak menghadiri pertemuan itu
karena sakit. Lalu Soeharto mengutus 3 jenderal, yaitu M. Jusuf, Amir Mahmud
dan Basuki Rahmat untuk menemui Soekarno di Bogor.
Soeharto pantas berterima kasih kepada tiga jendral yang menjadi
utusannya untuk bertemu Soekarno menelurkan suatu perintah tertulis untuk
menyerahkan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap
perlu, guna menjamin keamanan negara.
Buku Kronik ‘65 (2017) yang
disusun Kuncoro Hadi dkk, ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor
IX/1966 pada 21 Juni 1966, surat itu sudah menjadi kekuatan yuridis yang
mengikat. Soekarno saat melihat gelagat buruk, langsung ingin mencabutnya.
Namun usaha mencabut surat perintah tersebut gagal. Malahan jabatan presiden
yang tercerabut dari Soekarno. Lalu MPRS memberikan kewenangan kepada pengemban
Supersemar, untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966. Ialah The
Smiling General. Ketiga jenderal itu juga ketiban untung. Ada yang
jadi menteri, ada juga yang menjadi Panglima ABRI.
M Jusuf
Andi Muhammad Jusuf Amir alias
Andi Mo’mang atau yang lebih dikenal dengan M. Jusuf adalah tentara KNIL yang
langka. Jarang orang Bugis menjadi serdadu. Menurut Perik Matanasi dalam Tirto.id (30
Agustus 2018) revolusi kemerdekaanlah yang membuat keturunan bangsawan Bugis
ini jadi tentara. Namun keterusan meski revolusi kemerdekaan telah usai.
Namanya M. Jusuf tercatat sebagai
penandatangan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 1957. Namun, dia
tak ikut arus pemberontakan. Ia hanya mengikuti garis komando dan perintah. Menyaksikan
30 Tahun Pemerintahan Otorites Soeharto (2016) yang ditulis
Salim Said mengatakan, “Karir Jusuf menanjak ketika teman-temannya di Permesta
akhirnya menjadi pemberontak yang ditumpas TNI,” tulis Salim Said.
Pada tahun 1960-1964, ia menjadi Pangdam Hasanuddin. Di masa ini, ia mendapat
tugas berat harus meredakan pemberontakan Kahar Muzakkar. Padahal saat masih
berpangkat kapten saat bertugas di Yogyakarta, ia pernah menjadi ajudan dari
Kahar Muzakar.
Zaman kepemimpinan Soekarno, setelah menjadi Pangdam Hasanuddin,
ia diangkat menjadi Menteri Perindustrian. Jabatan itu bertahan meskipun orang
nomor 1 Indonesia sudah berganti. Jabatan Menteri Perindustrian tetap
dipegangnya hingga 1978.
Lalu ia dipercaya Soeharto menjadi Panglima ABRI pada tahun
1978. Ia sempat kaget dengan kepercayaan itu. Jabatan sebagai Pangdam
Hasanuddin 14 tahun lalu dikiranya jabatan militer terakhirnya. Namun setelah
lama tidak berkecimpung dalam militer dan sudah lama juga menjabat di jabatan
sipil. Masa itu, jabatan Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan
Keamanan.
Tidak berlebihan kiranya jika Petrik Matanasi dalam artikelnya di Tirto.id (31
Agustus 2018) jika di kalangan prajurit militer Indonesia, Jenderal M. Jusuf
barangkali panglima paling populer setelah Jenderal Sudirman. Ia bukan tipe
atasan yang hanya duduk dalam ruangan dan memberi perintah. M. Jusuf seringkali
turun ke barak-barak menemui dan menyapa serdadu, sekadar menunjukkan
perhatian. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai orang yang dekat dan disenangi
anak buahnya.
Banyak pula perbedaan pendapat antara M. Jusuf dan Soeharto.
Termasuk soal dwifungsi ABRI dan militer yang harus mendukung Golkar.
Kepopuleran M. Jusuf juga menerbitkan khawatir Soeharto. Ia memang tidak ingin
ada bintang kembar. Lalu diperparah oleh komentar Amirmacmud saat diadakan
pertemuan pemimpin negara di kediaman pribadi Soeharto. Amirmahmud menduga,
kepopuleran M. Jusuf juga diikuti oleh ambisi tertentu.
Jusuf marah dan menggebrak meja.
Semua yang hadir kaget. Sebelumnya, tidak ada yang berani demikian dihadapan
Soeharto. Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf:
Panglima Para Prajurit (2006) menuliskan bantahan M. Jusuf
saat itu. M. Jusuf berkata, “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta
untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang
Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa
itu. Tapi saya laksanakan tugas itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa.”
Saat terdengar kabar rencana penggantian Panglima ABRI, para serdadu kecewa.
Apalagi yang akan menggantikan M. Jusuf adalah sosok yang tidak disenangi
banyak tentara, yaitu Benny Moerdani.
Ada seseorang yang mengirimi M. Jusuf surat kaleng. Isinya
ajakan untuk mempertahankan jabatannya. Mereka takut Benny Moredani tidak bisa
memimpin ABRI dengan baik dan dapat membuat ABRI goyah. Karena Benny Moerdani
cenderung terus mengikuti kemauan Soeharto.
Di dalam biografinya yang ditulis Atmadji Sumarkidjo itu, di
tangsi, Jusuf menemui sejumlah perwira menengah yang telah dikumpulkan pengirim
surat kaleng tadi. Di sana ia mampu menunjukkan kewibawaannya dan meminta
mereka tidak melakukan perlawanan atau gerakan lain yang bisa merusak jati diri
TNI.
“Aku paham jiwa-jiwa mereka yang memprotes atau kecewa karena
rupanya mereka juga mendengar rencana pergantian Menhankam/Pangab. Tetapi dalam
sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes, memberontak atau
membangkang perintah,” kata M. Jusuf untuk menyejukkan hati para serdadu yang
resah dan kecewa.
Pada 28 Maret 1983, M. Jusuf digantikan sebagai Panglima ABRI
oleh Benny Moerdani. Setelahnya, ia menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sejak 1983 hingga 1993.
Amir Mahmud
Amir Mahmud merupakan anak dari seorang pegawai Rumah Sakit
Dustira di Cimahi yang lahir pada 21 Februari 1923. Setamatnya belajar di
sekolah untuk Bumiputera milik Belanda, ia melanjutkan di Sekolah Teknik Menengah.
Ia juga pernah kursus di Dinas Topografi Hindia Belanda.
Dunia kemiliterannya dimulai saat ia bergabung dalam tentara
sukarela bentukan Jepang. Ia pun menjadi komandan pleton di Bandung. Ia lama
mengahabiskan karir militernya di Divisi Siliwangi. Ia lalu menjadi Pangdam
Lambung Mangkurat (1962-1965). Jabatan militer terakhirnya adalah menjadi
Pangdam Jakarta Raya (1965-1969). Saat itu ia berpangkat Brigadir Jenderal.
Perkenalannya dengan Soeharto ketika ia dikirim ke Sekolah Staf dan Komandan
Angkatan Darat (Seskoad) Bandung. Soeharto pada masa itu sedang menjalani
“hukuman” dengan disekolahkan kembali ke Seskoad akibat relasi kotornya dengan
pengusaha yang membuatnya dicopot sebagai Pangdam Diponegoro.
Saat Soeharto menjadi komandan Cadangan Umum Angkatan Darat
(Caduad) dalam operasi pembebasan Irian Barat tahun 1962, Amir Mahmud dipercaya
Soeharto menjadi Kepala Staf Operasional. Caduad nantinya menjadi Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Berawal dari perkenalan di
Seskoad, lalu bekerjasama di operasi pembebasan Irian Barat, lalu ia juga
membantu lahirnya Supersemar bersama M. Jusuf dan Basuki Rahmat. Misteri
Supersemar (2006) karya Eros Djarot dkk, menuliskan bahwa Amir
Mahmud memaksa Soekarno menandatangani Supersemar.
Namun Amir Mahmud menjawab dalam
otobiografinya, H. Amir Mahmud: Prajurit Pejuang(1987).
“Bung Karno membubuhkan tanda tangan dalam Surat Perintah Sebelas Maret adalah
karena digerakkan oleh Allah SWT setelah adanya ucapan Bismillahirrahmannirahim yang
serempak dari semuanya yang hadir di lstana Bogor pada waktu itu,” (Hal. 270).
Saat Basuki Rahmat mangkat,
Soeharto menginginkan Amir Mahmud menggantikan posisi sebagai Menteri Dalam
Negeri. Amir Mahmud kaget mendapat kepercayaan itu dari Soeharto. Ia lama
berkarir sebagai militer (setidaknya dari 1943) dan tak terbayang posisi sipil
untuknya. (Hal. 270) “Amir Mahmud semula menolak dengan halus tawaran
tersebut,” tulis Julius Pour dalam Baramuli Menggugat
Politik Zaman (2000). Namun, meskipun sempat menolak, akhirnya
ia dilantik pada 28 Januari 1969. Bahkan ia terus dipercaya oleh Soeharto
menjabat Mendagri selama 3 periode.
Pada masa jabatannya inilah
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tahun 1969 dilaksanakan. Dalam otobiografinya
ia mengungkapkan menjalankan Pepera setengah hati. “Dalam hati kecil,
sebenarnya saya tidak menyetujui pelaksanaan Act of Free Choice tersebut.
Namun kini sudah menjadi keputusan pemerintah yang harus saya laksanakan.
Masalah yang kita hadapi memang tidak mudah,” katanya.
Hasil ini menentukan Papua untuk bergabung atau berpisah dari Indonesia.Namun
menurut Martin Sitompul dalam artikelnya di Historia.id (9
Agustus 2018), Amir Mahmud tampaknya enggan melaksanakan Pepera yang demokratis
sebagaimana diatur dalam Perjanjian New York.
Setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, keinginan pribadi
menginginkan Papua berintegrasi dengan Indonesia. Hal ini karena Amir Mahmud
terlibat dalam operasi Pembebasan Irian Barat tahun 1962. Alasan kedua, adalah
perintah Soeharto agar Papua harus berintegrasi dengan Indonesia. Jelas ia tak
ingin mengecewakan bosnya. “Bagi saya, dan juga bagi pemerintah Orde Baru,
tidak ada pilihan, Irian Barat harus tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Amir
Mahmud dalam otobiografinya. Oleh karena itu ia menggandeng Ali Murtopo, Sarwo
Edhie, dan sekutu-sekutu lain guna memuluskan cita-cita Papua berintergrasi
dengan Indonesia.
Pada tahun terakhirnya menjabat
sebagai Mendagri, seperti yang dijelaskan Asvi Warman Adam dalam Membongkar
Manipulasi Sejarah: Kontroversi, Pelaku, dan Peristiwa (2009),
Amir Mahmud pernah mengeluarkan Instruksi No. 32 Tahun 1981 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Eks Tapol/Napol G30S/PKI. Isinya adalah melarang para eks
tapol/napol bekerja sebagai ABRI atau PNS (termasuk di BUMN dan sebagai guru),
menjadi anggota parpol dan Golkar, pers, dalang, lurah, lembaga bantuan hukum,
dan pendeta (Hal. 175). Setelah tak jadi Menteri Dalam Negeri, Amir Mahmud
menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR)
dari 1982 hingga 1987.
Basuki Rahmat
Pria kelahiran Tuban, 4 November 1921 ini adalah salah satu
jenderal yang ikut berperan melahirkan Supersemar. Di antara dua jenderal
sebelumnya, ia yang lebih sedikit meninggalkan catatan sejarah, karena 3 tahun
setelah keluarnya Supersemar, ia meninggal dunia.
Ia pernah menjadi Pangdam Brawijaya tahun 1962-1965. Pangkat
terakhirnya dimiliter adalah Mayor Jenderal. Lalu tahun 1966, ia diangkat
menjadi Menteri Urusan Veteran.
Ia hanya sebentar menikmati berkah Supersemar yang mengantarkan
Soeharto ke kursi presiden. Saat meninggal dunia pada 9 Januari 1969, ia
menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia lalu digantikan oleh Amir Mahmud.
Post a Comment