Sorang Bocah Fanatik – Jojo Rabbit (Film Review)
Entah apa yang terjadi ketika Adolf Hitler masih hidup dan mendapati Taika Waititi memerankannya dengan begitu absurd. Meski dalam bentuk teman imajiner bocah 10 tahun yang lugu, penakut dan fanatik. Taika Waititi sesungguhnya memerankan sang fuhrer menjadi parodi yang paling gelap.
Jojo (Roman Griffin Davis) adalah tokoh utama dalam film ini. Tentang pergulatan anak 10 tahun dengan fanatismenya. Semua seakan berjalan lancar sebelum ia bertemu Elsa (Thomasin McKenzie), gadis Yahudi yang disembunyikan ibunya di balik dinding rumah.
Film ini mengambil latar menjelang kejatuhan Nazi dan akhir dari Perang Dunia II. Saya ingat dengan satu film serupa, meski bukan dalam genre yang sama, yaitu film The Flowers of War (2011) yang mengangkat perang dari sudut pandang anak-anak gerja dan wanita-wanita penghibur. Membuat penonton tidak bosan disuguhi tema sejenis. Begitu pun film jojo Rabbit (2019) garapan Taika Waititi ini. Tidak melulu berfokus pada heroisme, kekejaman dan penindasan. Tetapi juga absurditas di dalamnya.
Kelucuan, kalau tidak mau disebut kebodohan akibat dogma-dogma kekuasaan, tentang cara orang-orang Nazi menilai Yahudi adalah kegetiran dalam film ini. Ditampilkan dalam obrolan antara Jojo dan temannya, Yorki (Archie Yates). Lebih awal lagi ketika Fraulein Rahm (Rebel Wilson) menggambarkan sosok Yahudi dengan taring tajam, lidah ular, dan kawin dengan ikan.
Banyak satire dalam film ini. Baik ditampilkan dalam detail kecil maupun bangun utama cerita. Tentu satire bisa ditafsirkan apa saja. Sesekali saya mencoba menafsirkan satire yang memang sangat samar maknanya. Seperti saat Kapten Klenzendorf (Sam Rockwell) menembak sembarangan di awal perkenalannya di hadapan Hitlerjungend (Pemuda Hitler) yang seperti kumpulan anak-anak pramuka. Aku menilainya sebagai sindiran untuk konsep Lebensraum yang dilaksanakan oleh Jerman untuk membenarkan ekspansi serampangannya.
Semua perang berasal dari kebencian. Itu juga yang membuat hal yang tak masuk akal sekalipun dapat diterima. Bahkan menjadi propaganda untuk merebut simpati. Buat saja kebencian itu berkembang dahulu. Setelahnya, semua akan terlihat salah. Yang salah pun akan diterima menjadi sebuah kebenaran. Diperparah lagi upaya dari kekuasaan untuk mematikan perkembangan ilmu pengetahuan. Di dalam film ini, diwakili oleh acara api unggun dengan bahan bakar buku-buku. Sebagai simbol dari alergi terhadap ilmu pengetahuan.
Post a Comment