PSK dalam Gejolak Perang - The Flowers of War (Film Review)
Cerita apa yang kau harapkan dari seorang PSK yang melenggak-lenggok sekadar mempertegas kemolekan tubuh? Tentu mempertontonkan moralitas jauh dari bayangan. Bagaimana tidak, penjaja seks ini mau tak mau harus menerima cap amoral karena pekerjaannya.
Namun Yimou Zhang, ‘tuhan’ dalam film ini, menabrakkan dua premis yang bertolakbelakang dan bukan sekali. Contoh saja, ia menyatukan cerita dari pelaku amoral dengan perbuatan bermoral tinggi. Tentu Yimou membuat dulu bangun cerita sebagaimana PSK itu semestinya. Egois, lihai merayu, dan suka bersolek. Sebelum ia meruntuhkan semuanya. Yimou mempertegas pendapat bahwa film yang menarik adalah cerita biasa yang tak pernah kita bayangkan.
Ni Ni juga berhasil membawakan sosok Yu Mo, yang menjadi pemimpin PSK ini. Ia adalah sumbu dari semua cerita PSK dalam kisah.
Namun latar utamanya bukan rumah bordil. Sekali lagi, Zhang Yimou membuat sebuah keadaan yang sepertinya tidak mungkin, menjadi masuk akal. Sekitar 70 persen tempat di film ini berada di gereja. Juga dalam cerita ini, para pelacur itu menghabiskan banyak waktunya di ruang bawah tanah. Tempat dimana botol-botol berisi wine disimpan.
Soal selera, saya cenderung tak terlalu menyenangi tema perang. Setelah era kejayaannya pada paruh pertama dekade 2000-an saat film bertema perang mendapat berbagai penghargaan film internasional, mulai dari Berlin sampai Cannes, saya pikir tak banyak yang akan membuat saya menikmati film serupa. Namun The Flowers of War adalah pengecualian. Hitam putih perang tetap dipertontonkan secara gamblang. Namun asmara, humanisme dan kesetiakawanan membuatnya tetap nikmat.
Soal selera, saya cenderung tak terlalu menyenangi tema perang. Setelah era kejayaannya pada paruh pertama dekade 2000-an saat film bertema perang mendapat berbagai penghargaan film internasional, mulai dari Berlin sampai Cannes, saya pikir tak banyak yang akan membuat saya menikmati film serupa. Namun The Flowers of War adalah pengecualian. Hitam putih perang tetap dipertontonkan secara gamblang. Namun asmara, humanisme dan kesetiakawanan membuatnya tetap nikmat.
Tahun 1937 menjadi latar waktu yang diambil dalam film ini. Saat Jepang menduduki Nanking. Sudut pandang ceritanya berasal dari warga sipil. Ketakutan, kematian dan penderitaan menambah rasa dalam setiap detiknya.
Meski menitikberatkan pada pengalaman warga sipil, perang fisiknya tak kalah apik di garap. Tentang Nasionalisme dari tentara Tiongkok yang diwakili oleh satu kompi kecil pimpinan Mayor Li (Tong Dawei).
Selalu menyenangkan mengikuti detail kecil untuk menunjukkan salah satu kisah utama dalam film ini. Seperti saat tali senar dari pipa (alat musik petik dari Tiongkok) putus terkena besi saat kelompok pelacur itu melintas dengan kereta kuda. Di akhiri dengan kisah Dou (Li Yuemin) dan Lan (Bai Xue) yang menyedihkan.
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang tak kusebut dan ceritakan. Sekedar tak ingin mengurangi kenikmatanmu menonton. Seperti cerita perang pada umumnya yang tema besarnya adalah heroisme, namun film ini disajikan dengan cara yang tidak klise.
Post a Comment