Header Ads

Pedestrian, Tata Kota dan Konsep Smart City


Kita mengenal kota-kota yang ramah terhadap para pedestrian seperti Florence, New York, Marrakesh, Vancouver, Dubrovnik dan Buenos Aires. Hingga di jalan raya lebih banyak pedestrian daripada pengendara bermotor. Banyak faktor yang mendorong itu, mulai dari fasilitas, tata kota dan budaya masyarakatnya. Namun agaknya itu belum terpenuhi dengan baik di Pontianak.


Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi membuat kota semakin padat. Dampak selanjutnya adalah jumlah kendaraan bermotor yang meningkat dan tidak sebanding dengan peningkatan ruas jalan raya. Pontianak memang belum semacet kota-kota besar lain di Indonesia. Namun kondisi demikian jika dibiarkan akan menghadirkan kemacetan yang lebih parah di masa mendatang menjadi suatu keniscayaan.



Gambar: Pixabay 


Pedestrian mengambil peran dalam mengurangi kondisi yang dijelaskan di atas. Karena tidak menggunakan kendaraan pribadi.  Pedestrian juga bisa menjadi pahlawan lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil yang menghasilkan ekskresi berupa karbon dalam mobilisasinya.

Banyak artikel sampai penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa berjalan kaki baik untuk kesehatan. Mulai dari organ tubuh sampai jiwa. Namun kita akan membahas pedestrian sebagai parameter kesiapan Pontianak menyongsong Smart City atau Kota Cerdas karena selaras dengan beberapa indikator-indikator seperti Smart Mobility, Smart Environment, Smart Living, dan Smart People.


Lalu apa yang mempengaruhi budaya pedestrian? Satu di antaranya adalah fasilitas penunjang. Transportasi umum menjadi fasilitas penunjang yang merupakan syarat untuk menghadirkan budaya pedestrian di Pontianak. Pekerja sampai pelajar menggunakannya untuk menghubungkannya dari tempat tinggal ke tempat yang dituju. Namun transportasi umum memang jarang ditemui di kota ini. Oplet adalah pemandangan umum yang paling sering ditemui. Namun usia yang sudah tak lagi muda dan fasilitas yang kurang memadai membuat orang enggan menggunakannya.


Larisnya Ojek Online (Ojol) yang banyak bertebaran di jalan raya juga menegaskan kurangnya transportasi umum di Pontianak. Karena Ojol adalah alternatif lain yang paling efektif dan efisien untuk orang yang tidak punya kendaraan atau alasan lain atas dasar keefisienan. Namun itu bukanlah solusi dari kemacetan. Mengefektifkan transportasi umum seperti Bus Rapid Transit (BRT) Trans Pontianak yang merupakan hasil hibah dari pemerintah pusat tahun 2017 agaknya bisa menjadi solusi terdekat. Perlu ada jalur khusus yang berbeda dari jalan raya yang digunakan kendaraan pribadi agar jadwal singgahnya tepat waktu.


Fasilitas penunjang lainnya seperti halte juga perlu diperbaiki untuk menjaga kenyamanan pengguna. Pemenuhan hal ini akan membantu memenuhi indikator smart mobility yang mengharuskan penerapan sistem cerdas untuk mendukung dan memudahkan layanan transportasi publik.


Selain transportasi umum, ada fasilitas lain seperti trotoar dan zebra cross yang memang berpengaruh terhadap budaya pedestrian. Mengintegrasikan trotoar juga suatu yang penting mengingat tidak semua jalan raya di Pontianak punya trotoar.


Iklim juga merupakan faktor yang menentukan. Iklim khas negara tropis yang panas menyebabkan enggannnya orang untuk berjalan kaki. Apalagi Pontianak tepat berada di garis khatulistiwa. Namun permasalahan itu bisa ditanggulangi dengan penataan kota yang lebih hijau dengan Ruang Terbuka Hijau yang lebih banyak dan pepohonan rimbun di tepian jalan.  Hal demikian akan membuat pedestrian nyaman meski matahari terik. Hal ini sejalan dengan indikator Smart Environment dan Smart Living.


Setelah fasilitas-fasilitas fisik penunjang budaya pedestrian, lebih lanjut kita akan bicara tentang budaya ramah pejalan kaki. Karena fasilitas tanpa penggunaan yang sesuai tujuan tidak akan menghasilkan perubahan yang diinginkan.


Trotoar contohnya, masih digunakan untuk sepeda motor saat jalanan macet. Juga seringkali terlihat pedagang gerobak atau pedagang kaki lima menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan. Hal-hal di atas memperlihatkan perilaku tidak menghormati dan merenggut hak pedestrian. Padahal menurut Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki (Pasal 34 Ayat 4).


Selain itu batas jalan di lampu lalulintas yang ditandai dengan garis putih dilanggar hingga pengendara bermotor berhenti di jalur penyebrangan pejalan kaki. Budaya di Pontianak dan lebih umum lagi di Indonesia dan negara berkembang kebanyakan, pengendara bermotor tidak menghormati pejalan kaki. Padahal, seperti yang termuat dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Pasal 106 mengatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki.


Lalu kenapa pedestrian harus dihormati? Karena pedestrian adalah pengguna jalan yang paling minim perlindungan. Bisa jadi pedestrian merupakan orang-orang yang terbatas kemampuan finansialnya. Penertiban pihak-pihak yang menyerobot hak pedestrian harus dilakukan. Budaya ramah pejalan kaki bisa dikaitkan dengan indikator smart people untuk menyongsong Kota Cerdas.


Pontianak sedang menyonsong predikat Smart City. Predikat ini sekarang memang menjadi prestasi dan kota-kota berlomba mendapatkannya. Namun di masa mendatang agaknya predikat itu bukan lagi sebuah kebanggaan, melainkan sebuah tuntutan. Oleh karenanya mulai dari hal sederhana seperti budaya tidak menggunakan kendara pribadi dan memilih menjadi pedestrian dengan memperbaiki berbagai fasilitas dan penataan kota menjadi hal yang sudah seharusnya ditumbuhkan.

*Pertama kali terbit di Pontianak Post edisi Rabu, 17 April 2019

No comments

Powered by Blogger.