Sungai Kapuas dalam Sejarah | Dari Hulu ke Hilir: Integrasi Ekonomi di Sungai Kapuas (Any Rahmayani, Yusri Darmadi dan Andang Firmansyah)
Dari sedikitnya buku yang ditulis tentang sejarah lokal Kalimantan Barat, buku ini bisa disebut mutiara. Buku tipis yang serius membahas perekonomian masyarakat Kalimantan Barat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Kapuas.
Tentu saat saya berkata buku sejarah yang mengangkat lokalitas Kalimantan Barat itu sedikit, adalah pendapat pribadi. Subjektivitas itu didasari saat berkunjung ke perpustakaan daerah, mencari buku dengan konten lokal adalah suatu kesulitan, kalau tidak mau disebut sangat jarang. Kalaupun ada, hanya dipajang di ruang terbatas dan terkesan sangat “rahasia”. Apalagi perpustakaan lain seperti di kampus-kampus.
Yang bisa diandalkan hanya perpustakaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). Tergolong “lebih kaya” dari perpustakaan lain dalam konten sejarah lokal, meski masih dengan segala keterbatasannya. Saya, sebagai mahasiswa pendidikan sejarah, sangat memahami betul kesulitan saat mencari literatur tentang sejarah lokal Kalimantan Barat.
Tak belebihan jika saya sebut buku ini mutiara sekaligus oase dari tandusnya penulis sejarah di Kalimantan Barat di tengah lahan basah yang subur. Penulisnya, mulai dari Andang Firmansyah adalah dosendi Pendidikan Sejarah, Universitas Tanjungpura. Sedangkan Any Rahmayani dan Yusri Darmadi adalah peneliti di BPNB. Mereka adalah orang yang menyumbangkan pengetahuan dan tenaganya untuk menambah literatur sejarah lokal yang ada di Kalimantan Barat.
Buku ini membahas 3 hal, yaitu latar belakang terbentuknya aktivitas ekonomi, wujud integrasi ekonomi, dan dinamika integrasinya. Periodenya dibatasi mulai tahun 1900 sampai akhir pendudukan Belanda di Nusantara tahun 1942. Sedangkan aspek spasialnya dibatasi di DAS Sungai Kapuas.
Membahas aspek spasial, menarik jika menuliskan sedikit daerah-daerah yang dilewati Sungai Kapuas. Ada Afdeling Sintang dengan Onderafdeling Kapuas Hulu, Semitau, Melawi dan Sintang. Ada juga Afdeling Sanggau dan Sekadau, Tayan dan Pontianak. Sumber tulisannya adalah koran-koran semasa seperti Oetoesan Borneo dan Borneo Barat. Selebihnya adalah buku-buku dari Enthoven, Heidhues dan Veth. Ada juga tambahan sumber sekunder dari buku sebelumnya Any Rahmayani seperti “Aktivitas Niaga antara Pontianak dan Singapura Tahun 1819-1920” dan “Tanaman Niaga di Borneo Barat Pada Awal Abad ke-20”.
Buku ini juga mengulas beberapa potensi sumber daya alam yang ada di Kalimantan Barat, seperti kayu-kayuan, bambu, rotan, karet, kelapa dan damar. Aspek kependudukan juga tak dilewatkan. Ada 4 subjek ekonomi yang ditulis dalam bingkai etnisitas, yaitu Dayak, Melayu, Tionghoa dan Bugis.
Setelah membahas latar belakang, bab 3 mengarah kepada perkawianan antara niaga dan pemerintah kolonial, disertai dengan tranformasi ekonomi di abad 20.
Bab 4 difokuskan pada kondisi Sungai Kapuas pada masa krisis ekonomi besar pada tahun 1929-1939 dan masih terasa beberapa tahun setelahnya. Kendala alam seperti endapan batu di Sungai Kapuas yang mengganggu, apalagi saat musim kemarau membuat kapal kandas menjadi pembuka bab ini.
Satu pertiga bab ini bicara tentang transportasi dan dinamikanya. Satu di antaranya seperti yang disebut di atas. Saya mengharapkan ada hal lain seputar ekonomi yang dibahas di sini, seperti keterlibatan masyarakat lokal sebagai produsen yang mengolah atau mengumpulkan hasil alam. Itu terjawab di subbab ke 3. Mitologi yang saya pikir diskriminatif, ditampilkan di sini. Tentang pembagian kekuasaan antara Dayak dan Melayu atas Sintang. Bukan permasalahan wilayah, melainkan perihal kesukuan.
Hal menarik saat penulis menyajikan fakta bahwa, "pada awal abad ke-20, volume ekspor hasil hutan Kalimantan Barat tertinggi di Hindia Belanda." Fakta ini, yang sebenarnya juga dikutip penulis dari buku Uji N. Winandi, sayangnya tidak ditindaklanjuti dengan angka-angka. Tentu akan lebih menarik dan dapat menjadi rujukan jika demikian.
Sisa dari bab ini berkutat tentang karet. Produk ini menjadi yang terutama dibahas dalam mengupas dinamika perekonomian masa malaise dan bagaimana pengaruhnya terhadap Kalimantan Barat.
Post a Comment