Cara Kritis dalam Menilai Perkawianan Politik dan Teknokapitalis – Seni Merayu Massa, Garin Nugroho (Book Review)
Seni merayu massa yang
di maksud Garin pada judul ini bukan hanya soal bagaimana para seniman dan
pekerja di film dan televisi menarik penontonnya. Tetapi juga bagaimana
tokoh-tokoh politik menarik massa untuk mendukung dan memilihnya. Itu tergambar
dari bab pertama buku ini yang ceritanya berpusat pada sosok Megawati dengan
analogi opera sabun yang sampai 3 musim. Setiap episode diwakili oleh
pemberitaan media.
Tak ubahnya konflik
dalam setiap episode sinetron, media memberi highlight pada setiap klimaks kecilnya. Sisanya seputar etika berkampanye yang kita tahu isinya adalah
upaya Garin untuk terlibat dalam pemeliharaan demokrasi dan kesehatan ruang
publik.
Tiga standar etika
berkampanye yang harus dipenuhi oleh pengkampanye demi terpeliharanya demokrasi
dan kesehatan ruang publik dirumuskan olehnya. Pertama, memahami benar materi
kampanye dan berasal dari sumber yang memadai. Kedua, tidak dogmatis dan
membuka ruang bernalar sesadar-sadarnya. Terakhir, memahami resiko.
“Pada gilirannya, prinsip etika ini
akan menjadi nilai kontrol terhadap oportunitas individual ataupun golongan
ataupun partai yang ingin meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara.
Atau juga menjadi nilai kontrol bagi pengkampanye yang memandang rendah objek
dan mementingkan efek murni pada masyarakat. Atau juga, nilai kontrol untuk
para pengkampanye yang mengorbankan substansi berbangsa demi kepribadian dan
pesona.” (Garin Nugroho, 2005:6).
Fakta tentang Orba
melibatkan kekerasan dalam pemerintahannya sudah banyak di bahas orang. Namun
dengan sumber daya Orba digunakan untuk merayu masyarakat untuk menerima alasan
yang buruk dan fakta yang keliru adalah hal lain yang dibahas Garin. Tentu
masyarakat dalam jangka panjang dalam demokrasi akan dirugikan. Karena akan
tumbuh menjadi masyarakat yang rentan akibat terbiasa menerima kekeliruan yang
dimanipulasi.
Garin memberi tempat
penting untuk kebudayaan dalam strategi berbangsa. Ia menawarkan 3 strategi
politik dalam bingkai kebudayaan dalam membangun bangsa dari hasil
pengamatannya terhadap kondisi Eropa dan Amerika pasca PD II. Seperti membangun
industri budaya populer, merawat kebudayaan klasik, dan membangun pemikiran
kreatif untuk menumbuhkan budaya alternatif baru. Ketiga hal ini diulang-ulang
oleh Garin di artikel-artikel selanjutnya.
Pembahasan seriusnya
tentang industri televisi dimulai ketika ia menyodorkan fakta sejarah bahwa pada
tahun 1948, Truman memerlukan waktu 3 bulan untuk menjabat tangan 500.000 calon
pemilihnya. Sedangkan Eisenhower di tahun 1950-an, hanya perlu beberapa jam
duduk di depan kamera televisi, sudah mampu melampaui yang dilakukan Truman.
Ini sekedar gambaran bagaimana politik lebih mudah menjangkau orang dengan
televisi sekaligus bagaimana televisi membawa politik ke ruang keluarga.
Optimismenya tentang
televisi dari aspek politik dibarengi juga tulisan tentang pesimismenya melihat
industri yang seba cepat dan instan ini bekerja. “Tak Ada Karya besar di
Televisi” menjadi tajuk tulisannya. Dasarnya adalah opera sabun (sinetron) yang
lahir dari rahim televisi Indonesia. Ulasan lengkapnya ada di halaman 61-65.
Perbandingan cukup
menarik ketika ia membandingkan industri televisi Amerika pada dekade 1960-1970
sebanding dengan televisi Indonesia era 1990-2000. Kita mahfum dengan
perbandingan ini, namun sayang Garin tak memberikan alasan lebih terhadap
perbandingan ini. Atau Garin hanya sekedar memberikan perspektif persamaan agar
mudah menjelaskan kondisi televisi Indonesia saat itu?
Beralih ke film dalam
persoalannya dengan sensor. Bukan oleh sensor resmi seperti Lembaga Sensor
Film, melainkan sensor dari orang-orang yang mempunyai kuasa dan berpegang pada
moral maupun agama. Saat ia mengangkat kasus film, “Buruan Cium Gue” tahun
2004, saya langsung teringat dengan film yang digarap penulis sendiri, “Kucumbu
Tubuh Indahku” yang dilarang tayang di berbagai daerah di Indonesia.
Miris memang melihat
kreativitas yang menawarkan perspektif baru dalam film dan seharusnya bisa juga
diimplementasikan di negara multikultur ini dihambat jalannya. Proses
menciptakan budaya kreatif dan plural itu harus dibatasi oleh polisi moral yang
dengan kekuatannya mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Padahal, sensor
terbaik seharusnya datang dari individu sendiri lewat pemahamannya terkait film
dan implikasi dari muatan di dalamnya. Bukan dari orang yang berkuasa. Tawaran
Garin adalah pengelolaan pendidikan etika yang kritis!
Garin adalah orang yang
rajin diundang dan datang ke festival film internasional. Ilmu dari sana coba
ia komparasikan ke kondisi di Indonesia. Termasuk saat ia menakar kualitas film
Indonesia di Asia. Tak hanya sekedar membandingkan, Garin juga berlaku seperti “cenayang”
dalam melihat masa depan perfilman Indonesia pasca 98. Tak hanya Asia,
terkadang Garin juga melakukan komparasi terhadap industri film Hollywood, atau
lebih kecil yaitu Asia Tenggara.
Buku ini adalah
kumpulan 31 artikel Garin Nugroho yang dimuat di Kompas sejak 1996 sampai 2005.
Tiga puluh persen tulisan di dalam buku ini bertema politik, meski selalu ada
kaitannya dengan media. Sisanya adalah hasil pengamatan Garin terhadap
perkembangan dan perubahan di dalam industri televisi dan film. Meski tergolong
buku lawas, namun terdapat beberapa artikel yang masih relevan denan kondisi
saat ini. Terlebih isu televisi dan politik yang dalam beberapa aspek tak
banyak berubah. Selebihnya, saat ia membahas film, ia seakan membawa kita ke
kondisi perfulman tanah air akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Do this hack to drop 2 lbs of fat in 8 hours
ReplyDeleteMore than 160 thousand women and men are trying a easy and SECRET "water hack" to lose 2 lbs every night in their sleep.
It is simple and works every time.
This is how you can do it yourself:
1) Grab a glass and fill it up half glass
2) And then use this amazing HACK
so you'll become 2 lbs thinner in the morning!