Header Ads

Kopi Membuat Malam Lebih Panjang



Jika tidak ada kegiatan pagi yang mendesak, agendaku sebangunnya dari tidur, selain membuka hp, adalah memasak air, lanjut ke wc. Keluar dari wc air sudah mendidih dan kuseduh kopi. Kebiasaanku ngopi dibangun saat aku bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik di kampusku. Aku tidak menyebut “ngopi” untuk duduk di warung kopi dan memesan apa saja.

Aku menyebut “ngopi” untuk duduk di warung kopi dan memesan kopi. Hampir setiap kali ke Warung Kopi, pesananku selalu kopi hitam. Kalau aku memesan kopi susu, pasti ada sesuatu yang berbeda hari itu. Atau kalau aku memesan di luar kopi, berarti aku sudah ngopi dua kali hari itu.

Gambar: Pixabay

Ruang-ruang diskusi kecil di sana hadir di Warung Kopi. Menjadi tempat “menuntut ilmu” paling menyenangkan dan tentunya jarang ada di ruang kuliah. Atau aku sebut saja ia ruang kuliah kedua. Aku juga sering menyebutnya ruang kuliah utama untuk beberapa hal.

Lalu kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. Banyak cerita dan obrolan yang terjadi. Tak cukup jari kaki dan tangan untuk menghitung Warung Kopi yang kusinggahi, baik itu yang berisi anak muda yang sedang memaki-maki saat bermain game, aktivis dari berbagai latar belakang atau bapak-bapak yang serius bicara proyek politik.

Bahkan dulu, dalam sehari aku lebih sering ngopi daripada makan. Beberapa kali asam lambung naik. Namun aku masih beryukur belum ada penyakit serius yang singgah, dan semoga tidak pernah.

Entah mengapa saat berpikir untuk menulis ini, aku langsung teringat satu bagian di novel Pram, Arus Balik. Saat Sayid Habibullah Almasawa menyeduh bubuk hitam sebagai obat kuat bekerja larut malam. Sekalian saja aku merekomendasikan buku yang baru selesai kuhabiskan selama 3 bulan ini. Memberikan imajinasi tentang bagaimana era kemunduran masa Islam di Nusantara dan kedatangan penjajah. Kisah cinta di dalamnya juga disajikan dengan jauh dari kata picisan.

Tentu bukan aku saja yang menjadikan kopi sebagai kebiasaan. Juga bukan hanya anak senja yang menjadikan kopi sebagai identitas. Apalagi di Pontianak, kopi adalah ciri khas. Namun dari sekian banyak Warung Kopi, aku hanya bisa merekomendasikan empat. Aming, Asiang, Sariwangi, dan Winny. Tentu ada juga kopi-kopi hits. Namun aku belum pernah mencoba dan sampai sekarang belum tertarik. Mungkin nanti. Mungkin juga tak akan pernah tertarik karena suasananya bukan seperti yang kuminati. Karena kau suka suasana Warung Kopi penuh riuh rendah suara obrolan. Bukan suara lantunan musik atau suara bisik-bisik orang pacaran.

Semoga sampai nanti saat aku sudah sibuk bekerja dan berkeluarga, aku tetap bisa mempunyai waktu luang menyesap kopi sembari kembali bercerita tentang romantisme masa muda bersama temanku dulu seperkopian. Aku punya niat menulis sebuah artikel serius tentang ngopi. Tapi aku belum menemukan artikel, jurnal, atau buku yang akan kujadikan referensi. Kalau teman-teman tahu atau punya, silakan berbagi.

No comments

Powered by Blogger.