Kopi Membuat Malam Lebih Panjang
Jika tidak ada kegiatan pagi yang mendesak, agendaku
sebangunnya dari tidur, selain membuka hp, adalah memasak air, lanjut ke wc. Keluar
dari wc air sudah mendidih dan kuseduh kopi. Kebiasaanku ngopi dibangun saat aku bergabung di Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik di kampusku. Aku
tidak menyebut “ngopi” untuk duduk di warung kopi dan memesan apa saja.
Aku menyebut “ngopi” untuk duduk di warung kopi dan
memesan kopi. Hampir setiap kali ke Warung Kopi, pesananku selalu kopi hitam.
Kalau aku memesan kopi susu, pasti ada sesuatu yang berbeda hari itu. Atau kalau
aku memesan di luar kopi, berarti aku sudah ngopi dua kali hari itu.
Ruang-ruang diskusi kecil di sana hadir di Warung Kopi. Menjadi tempat
“menuntut ilmu” paling menyenangkan dan tentunya jarang ada di ruang kuliah.
Atau aku sebut saja ia ruang kuliah kedua. Aku juga sering menyebutnya ruang
kuliah utama untuk beberapa hal.
Lalu kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. Banyak cerita dan obrolan
yang terjadi. Tak cukup jari kaki dan tangan untuk menghitung Warung Kopi yang
kusinggahi, baik itu yang berisi anak muda yang sedang memaki-maki saat bermain
game, aktivis dari berbagai latar belakang atau bapak-bapak yang serius bicara
proyek politik.
Bahkan dulu, dalam sehari aku lebih sering ngopi daripada makan. Beberapa
kali asam lambung naik. Namun aku masih beryukur belum ada penyakit serius yang
singgah, dan semoga tidak pernah.
Entah mengapa saat berpikir untuk menulis ini, aku langsung teringat satu
bagian di novel Pram, Arus Balik. Saat Sayid Habibullah Almasawa menyeduh bubuk
hitam sebagai obat kuat bekerja larut malam. Sekalian saja aku merekomendasikan
buku yang baru selesai kuhabiskan selama 3 bulan ini. Memberikan imajinasi
tentang bagaimana era kemunduran masa Islam di Nusantara dan kedatangan
penjajah. Kisah cinta di dalamnya juga disajikan dengan jauh dari kata picisan.
Tentu bukan aku saja yang menjadikan kopi sebagai kebiasaan. Juga bukan
hanya anak senja yang menjadikan kopi sebagai identitas. Apalagi di Pontianak,
kopi adalah ciri khas. Namun dari sekian banyak Warung Kopi, aku hanya bisa
merekomendasikan empat. Aming, Asiang, Sariwangi, dan Winny. Tentu ada juga
kopi-kopi hits. Namun aku belum pernah mencoba dan sampai sekarang belum
tertarik. Mungkin nanti. Mungkin juga tak akan pernah tertarik karena
suasananya bukan seperti yang kuminati. Karena kau suka suasana Warung Kopi
penuh riuh rendah suara obrolan. Bukan suara lantunan musik atau suara
bisik-bisik orang pacaran.
Semoga sampai nanti saat aku sudah sibuk bekerja dan berkeluarga, aku tetap
bisa mempunyai waktu luang menyesap kopi sembari kembali bercerita tentang
romantisme masa muda bersama temanku dulu seperkopian. Aku punya niat menulis
sebuah artikel serius tentang ngopi. Tapi aku belum menemukan artikel, jurnal,
atau buku yang akan kujadikan referensi. Kalau teman-teman tahu atau punya,
silakan berbagi.
Post a Comment