Header Ads

Harmoni Kehidupan dalam Seporsi Mi Sagu



Banyak cerita soal makanan, seperti banyaknya lembar sejarah manusia. Karena makanan adalah kebutuhan utama. Ada cerita, kasta, rasa, dan selera. Makanan juga dapat dikatakan sebagai produk dari peradaban manusia. Dari yang paling sederhana saja, makanan adalah soal perut. Karena inilah orang bisa membenci sampai membunuh. Karena makanan juga orang-orang bersatu, berbaur dan berbagi.

Namun dalam cakupan yang lebih luas lagi dalam sosio-historis kehidupan, makanan dan masyarakat juga bisa dikaitkan menjadi kesatuan. Namun bukan dalam garis linier seperti kajian ekonomi. Tapi pada makna filosofis di dalamnya.

Seperti mi (kata baku dari mie) sagu, dwitunggal dari dua entitas, yaitu bentuk dan bahan. Mi adalah dua bentuk olahan dan sagu sebagai bahan baku. Mi yang sudah dikenal di daratan Cina sekitar 200 tahun sebelum Masehi yang lalu pada masa pemerintahan Dinasti Han. Aktivitas pelayaran dan perdagangan pada masa lampau membuat mi dikenal oleh negeri-negeri lainnya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan China, Termasuklah Nusantara.

Namun umumnya bahan baku mi adalah tepung terigu. Tapi di khazanah budaya Melayu, ada mi sagu. Dari namanya kita tahu bahan baku dari mi ini. Mi sagu adalah contoh asimilasi dari resep luar bercampur dengan bahan lokal.

Sulit memang mencari asal mula perpaduan mi dan sagu pertama kali di Nusantara. Namun jika kita melihat mulai dari masa perdagangan, jelas yang paling cepat terpapar budaya luar adalah daerah pesisir atau daerah pelabuhan.

Pada masa lampau, daerah Selat Malaka menjadi rute niaga favorit. Selain itu memang orang-orang di pesisir sudah akrab dengan sagu. Karena sagu tumbuh di wilayah tropis basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Jadi tidak heran jika para ahli menunjuk daerah-daerah pesisir sekitar Selat Malaka menjadi tempat awal munculnya mi sagu.

Menarik melihat akulturasi budaya Tionghoa dan Melayu dalam olahan mi sagu. Hal ini menandakan bahwa makanan dapat menjadi simbol dari keberagaman. “Makanan Indonesia itu bisa memberikan simbol atau makna yang sangat dalam bahwa sebenarnya karakter masyarakat Indonesia itu tinggi akan toleransi, ramah tamah, dan juga terbuka akan hal-hal yang baru,” ucap pakar kuliner Lisa Virgiano dalam wawancara dengan Vice Indonesia.

Lewat interaksi dan pertukaran budaya, makanan bisa berasimilasi dan menyebar kemana saja dan menyesuaikan dengan rasa dan bahan lokal. Pada akhirnya diterima dan menjadi sebuah hal baru di masyarakat beradab.

Di tengah merebaknya kebanggaan akan jati diri yang berpotensi mengarah pada politik identitas yang akan menjadi salah satu penyebab perpecahan, baiknya kita juga mencari alasan-alasan historis kenapa kita harus bersatu. Saya pikir jelaga sejarah adalah cerahnya masa depan. Masa lalu adalah guru terbaik.

Tinggal bagaimana cara kita memberi makna pada peristiwa itu. Pilihan terbaik adalah tidak terjebak sentimen dan ikut dalam menciptakan budaya masyarakat bhineka dan toleran. Kita, sebagai generasi yang diwarisi masyarakat yang homogen, memiliki tanggungjawab untuk memelihara dan menyampaikan kembali warisan tersebut kepada anak cucu kita nanti.

Belajar dari mi sagu, dalam bermasyarakat yang majemuk, agaknya kita harus merasakan nikmatnya berbaur tanpa mempertentangkan perbedaan. Mi sagu tersaji oleh keluhuran budaya, namun tak ribut karena masalah identitas. Menikmati mi sagu adalah menikmati keharmonisan dan menghindari persinggungan. 

Satu di antara tempat menikmati mi sagu adalah Ayam Pak Usu yang tersebar di beberapa tempat di Pontianak. Nikmati juga beberapa olahan mi lainnya seperti bakmi kepiting khas Pontianak yang juga menjadi juara. 



1 comment:

Powered by Blogger.