Sambas dalam Sejarah
logo pemerintah Kabupaten Sambas |
Mendengar
kata Sambas, pasti pikiran kita langsung tertuju pada sebuah kabupaten terluar
di Indonesia yang berada di barat laut pulau Kalimantan dan berbatasan langsung
dengan negri jiran Malaysia. Kabupaten Sambas merupakan salah satu dari 12
kabupaten dan 2 kota di Kalimantan Barat.
Kabupaten Sambas yang dibagi menjadi
19 kecamatan ini adalah hasil pemekaran kabupaten pada tahun 2000. Sebelumnya
wilayah Kabupaten Sambas sejak tahun 1960 adalah meliputi juga Kota Singkawang
dan Kabupaten Bengkayang sekarang di mana pembentukan Kabupaten Sambas pada
tahun 1960 itu adalah berdasarkan bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Kabupaten dengan luas wilayah
6.395,70 km² atau 639.570 ha (4,36% dari luas wilayah
Provinsi Kalimantan Barat) ini memang masih terbilang
baru. Kurang lebih baru 16 tahun berdiri setelah hasil pemekaran.
peta wilayah administratif Kabupaten Sambas |
lambang Kesultanan Sambas |
Namun
jika di runut ke belakang, ternyata sambas telah ada sejak abad ke 14. Sebagaimana
yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Coba direnungkan sejenak,
bagaimana kitab Negarakertagama yang di buat di kerajaan Majapahit ini bisa
mencatat kerajaan di pulau Kalimantan kalau memang dulu tak ada hubungan antara
Majapahit dan Sambas Kuno. Pada masa itu rajanya bergelar "Nek",
salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh. Dari sebutan “Nek” ini
dapat kita ketahui bahwa pada abad ke 13-14, saat kepemimpinan Nek Riuh ini,
Sambas dulunya masih beragama Hindu.
Tapi
fakta baru menemukan ada kerajaan Hindu lainnya di daerah Sambas sebelum Nek
Riuh. Kerajaan itu adalah Kerajaan
Wijayapura. Kerajaan Wijayapura adalah kerajaan bercorak Hindu yang berdiri
sekitar abad ke-7. Kerajaan Wijayapura juga dikenal dengan Kerajaan Sambas
Kuno. Bukti kuat keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya benda-benda
arkeologis berupa gerabah, patung dari masa Hindu, menurut perkiraan para ahli
arkeologi, benda- benda itu berasal sekitar pada abad ke-6 M atau 7 M. Selain
itu juga ditemukan benda-benda arkeologis lainnya seperti gendang gangsa dari
Dongson, manik-manik batu akik dari India, patung Budha emas Boddhisatvas,
semuanya di lembah sungai Sambas Kalimantan Barat menunjukkan adanya bentuk
pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari pemerintahan Sriwijaya. Arca-arca
Buddha berbahan emas, perak, dan perunggu yang ditemukan di Kota Sambas di
Kalimantan Barat yang kini menjadi koleksi British Museum di London, Inggris.
Diperkerikan arca-arca ini adalah peninggalan dari Kerajaan Wijayapura, menurut
perkiraan para ahli arkeologi, benda- benda itu berasal sekitar pada abad ke-6
M atau 7 M, sedangkan kerajaan Wijayapura berdiri pada abad ke-6 atau 7 M.
Setelah Kerajaan Wijayapura dan
Kerajaan Nek Riuh pada
sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal yang
masih beragama Hindu. kepemimpinannya terkenal sangat kejam. Menurut legenda
yang sangat terkenal di Sambas, dikisahkan berbagai kekejaman yang dilakukan
oleh Tan Unggal, dari mulai suka meminum darah anak perawan sampai mengubur
kedua anak kandungnya sendiri hidup-hidup. Kedua anaknya ini bernama Bujang
Nadi dan Dare Nandung. Ada dua versi tentang legenda ini, yang pertama keduanya
yang di fitnah melakukan cinta terlarang.
makam Bujang Nadi dan Dare Nandong |
Yang kedua dikisahkan sang kakak yaitu Bujang
Nadi hanya ingin menikah jika calon istrinya Secantik sang adik, yakni Dare
Nandong dan sang adik pun sebaliknya. Karena itulah ayahnya murka terhadap
kedua anak kandungnya itu dan Demikianlah, Bujang Nadi dan Dare Nandung
akhirnya dikubur hidup-hidup, bersama hewan dan b\enda kesayangannya, pada
sebuah sumur yang ada di atas bukit. Bujang Nadi ditemani ayam jago
kesayangannya dan Dare Nandung bersama alat tenun berlapis emas kebanggaannya.
Lokasinya berada di Desa Sebedang, Kabupaten Sambas. Tempat yang dipercaya
masyarakat sebagai makam keduanya sekarang ini diberi nama Keramat Bujang Nadi
Dare Nandung. Karena kekejamannya itu, Tan Nunggal di kudeta oleh rakyatnya. Karena
sangat sakti, sulit untuk membunuh Tan Nunggal, namun rakyat tak kehabisan
akal, cara membunuh Tan Nunggal adalah menenggelamkannya di dalam air. Akhirnya
Tan Nunggal mati di Danau Sebedang, Kecamatan Sebawi, Kabupaten Sambas. Namun cerita
Tan Nunggal dan Kekejamannya masih di anggap sebagai legenda karena belum
banyak evidensi atau bukti tentang itu, soal kebenaraannya wallahualam.
(baca juga ; 5 Kitab Kuno yang Mencatat Kehebatan Indonesia di Masa lampau)
(baca juga ; 5 Kitab Kuno yang Mencatat Kehebatan Indonesia di Masa lampau)
Setelah wafatnya Tan Nunggal, terjadi kekosongan
kekuasaan karena hilangnya rasa percaya rakyat terhadap raja akibat ulah
kekjaman Tan Nunggal. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai
Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530) datang serombongan
besar orang-orang dari Pulau Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yaitu
dari kalangan Bangsawan Kerajaan Majapahit
yang masih beragama Hindu,
yaitu keturunan dari Raja Majapahit sebelumnya yang bernama Wikramawardhana.
Setelah
menetap 10 tahun di daerah yang disebut Kota Lama, pendatang dari Majapahit itu
akhirnya mendirikan Panembahan Sambas. Panembahan ini masih bercorak hindu yang
berpusat di hulu sungai Sambas. Panembahan ini di pimpin oleh raja yang
bergelar “Ratu”. Pemimpin Panembahan Sambas yang paling terkenal adalah Ratu
Sepudak. Dialah yangpertama kali menjalin hubungan kerja sama dengan VOC, yakni
tahun 1609. Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan
Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan
Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata.
Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu
Sapudak. Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah
tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak
lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas
ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang
menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang
Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan
Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu
dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan
anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom. Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama
Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas
Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman.
Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di
Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden
Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I
yaitu pada tahun 1671.
sumber: www.misterpangalayo.com |
Selama masa berdirinya Pemerintahan Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga
tahun 1950 M, selama masa itu Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri
dari 15 orang Sultan dan 2 orang Ketua Majelis Kesultanan (Plt Sultan). Kesultanan Sambas selama 100 tahun yaitu dari
paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah pesisir
barat Pulau Kalimantan (Kalimantan
Barat) hingga kemudian Hindia
Belanda masuk pada awal abad ke-19 M.
Kesultanan Pontianak sehingga kemudian
Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai kerajaan
terbesar di wilayah ini. Berikut ini Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :
Pihak Hindia Belanda ini yang
membuat besar - Sultan Muhammad Shafiuddin I bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ( Sultan Tengah ) (1671 - 1682)
- Sultan Muhammad Tajuddin bin Sultan Muhammad Shafiuddin I (1682 - 1718)
- Sultan Umar Aqamaddin I bin Sultan Muhammad Tajuddin (1718 - 1732)
- Sultan Abubakar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin I (1732 - 1762)
- Sultan Umar Aqamaddin II bin Sultan Abubakar Kamaluddin (1762 - 1786) dan (1793 - 1802)
- Sultan Achmad Tajuddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1786 - 1793)
- Sultan Abubakar Tajuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1802 - 1815)
- Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815 - 1828)[3]
- Sultan Usman Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1828 - 1832)
- Sultan Umar Aqamaddin III bin Sultan Umar Aqamaddin II (1832 - 1846)
- Sultan Abu Bakar Tajuddin II bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1846 - 1854)[4]
- Sultan Umar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin III (1854 - 1866)
- Sultan Muhammad Shafiuddin II bin Sultan Abubakar Tajuddin II (1866 - 1924)
- Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1924 - 1926)
- Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
- Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
- Pangeran Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
- Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 - sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.
Peninggalan dari jejak Kesultanan
Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas,
Istana Istana Alwatzikhubillah, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas
pertama hingga Sultan Sambas ke-14, serta sebagian alat-alat kebesaran kerajaan
seperti tempat tidur sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan
sirih, pakaian kebesaran sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah
meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik
dari negeri Tiongkok dan 4 buah kaca cermin besar dari
Kerajaan Perancis dan 2 buah kaca cermin besar dari Belanda. Sebagian besar barang-barang
peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau terjual oleh oknum
tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan
terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini
bertebaran di wilayah Kalimantan Barat,
baik di Sambas, Singkawang, dan Pontianak yang sebagiannya masih
menggunakan gelar Raden. Berikutlah
perjalanan kehidupan di Sambas, dari zaman kuno sampai sekarang yang kira-kira
lebih dari 7 abad.
Referensi :
Post a Comment