Header Ads

Biografi Sultan Syarif Kasim Alkadri



Biografi Sultan Syarif Kasim Alkadri

Syarif Kasim alkadri adalah putra tertua dari Sultan Syarif Abdurrahman alkadri dan Utin Chandramidi. Dia adalah Sultan Pontianak yang kedua.  Beliau dilahirkan tahun 1767. Ketika berumur 20 tahun, yaitu tahun 1787 dia sudah diangkat menjadi Panembahan Mempawah untuk menggantikan Gusti Jamiri.
lambang kesultanan kadriah

Suatu hari terjadi konflik antara Syarif Kasim Alkadri dengan sang ayah, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie karena Syarif Kasim Alkadrie yang selaku Panembahan Mempawah melakukan perjanjian pada tanggal 27 Agustus 1787 yang dalam salah satu pasalnya telah mengukuhkan penjajahan Belanda terhadap Pontianak dan Mempawah, melumpuhkan kekuasaan Sultan.
Tindakan yang Syarif Kasim lakukan membuat sang ayah tidak senang, karena Sultan Syarif Abdurrahman merasa Mempawah berada di bawah Kesultanan Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman semakin kecewa ketika mendengar kabar bahwa Syarif Kasim terbukti membunuh seorang kapten kapal Inggris dan seorang Nahkoda jung Cina. Kasus tersebut membuat Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri tidak menerima kehadiran sang anak di Kesultanan Pontianak.
Ketika sang ayah, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri wafat tahun 1808, Syarif Kasim Alkadri pergi ke Pontianak untuk melayat dan memberi penghormatan terakhir kepada sang ayah. Menurut adat raja Melayu, seorang raja yang wafat belum di makamkan ketika belum terpilih raja yang baru. Sesungguhnya Sultan Abdurrahman Alkadri telah memilih Syarif Usman Alkadri untuk menggantikannya, namun karena Syarif Usman masih kecil serta merasa tidak sanggup menanggung hutang sang ayah yang besar, dia menunjuk saudaranya yang lebih tua, Syarif Kasim Alkadri untuk menjalankan kekuasaan sebagai Sultan untuk sementara waktu.
Syarif Kasim menyambut baik dirinya menjadi Sultan Pontianak dengan jaminan bahwa ia akan menjabat selama sepuluh tahun saja dan dia juga akan berjanji akan melunasi seluruh hutang ayahnya selama sepuluh tahun kepemimpinannya. Pada tanggal 12 Maret 1808 Sultan Syarif Kasim Alkadri memberitahu Gubernur Jendral Belanda di Batavia bahwa iya bertindak sebagai Sultan Pontianak menggantikan ayahnya.
Pada masa pemerintahannya, beliau menghadapi tiga masalah besar, yakni masalah bajak laut, pemberontakan di Sambas dan Imigran yang berasal dari Cina.
Beliau memiliki hubungan erat dengan Inggris dan GG. Thomas Stanford Raffles. Hal ini dibuktikan dengan kiriman 2 kayu kain bersongket emas dan sepasang Kasur bersulam emas. Ketika Inggris menyerahkan kembali Hindia Belanda tahun 1816, Sultan Syarif Kasim mengirim utusan kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar kekuasaannya diakui karena dia merasa kedudukannya masih menghadapi banyak persoalan.
Selama 10 tahun menjadi Sultan Pontianak, dia banyak melakukan tindakan yang menjadikan keluarga kesultanan tidak senang. Janjinya untuk melunasi hutang ayahnya selama 10 tahun kepemimpinannya tidak terlaksana, justru dia yang banyak berhutang karena hubungan dagang dengan Inggris dan pedagang Cina. Dia juga terlibat banyak pembunuhan. Sungai “Selamat” (di kecamatan Siantan), dahulu adalah tempat pembunuhan penjahat pada masa kepemimpinannya. Selain itu dia juga banyak menjual harta milik kesultanan Kadriah.
Karena dia tidak disenangi oleh keluarga Kesultanan, saat dia berkunjung ke Surabaya, dia dihadiahi cermin. Maksudnya agar dia mau berkaca diri, agar menyadari kekeliruannya. namun seebaliknya, iya berhubungan dengan penguasa Hindia Belanda di Batavia untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Sultan.
Atas permintaan Sultan Syarif Kasim, tahun 1818 Belanda menugaskan Komisaris Broek Holtz datang ke Pontianak dengan beberapa serdadunya untuk melindungi keamanan Sultan Syarif Kasim sekaligus melindungi kantor dagangnya di Pontianak. Pada tanggal 9 Agustus 1818, bendera Belanda berkibar kembali di Pontianak setelah pemerintahan Thomas Stanford Raffles.
Pada 12 Januari 1819, Komisaris Belanda Nahuys mengadakan perjanjian atau kontrak baru dengan Sultan Syarif Kasim. Kemudian hari Gubernur Jendral Du Bus membangun sebuah benteng di Pontianak, diberi nama Marianne’s Oord, nama putri raja Willem I. inilah awal dari kamung Mariana di kampong Tengah, di depan pelabuhan Pontianak. Benteng itu kemudian dijadikan markas tentera Belanda di Pontianak dan disebut benteng “Du Bus”.
Taktik Belanda mengikat semua Sultan Pontianak melalui perjanjian atau kontrak. Semua Sultan harus bersumpah setia kepada pemerintah Hindia Belanda yang berhak mengangkat Sultan. Namun tidak sedikit keluarga atau kerabat Kesultanan yang tidak setuju dengan kesetiaannya terhadap Belanda. Kerabat Sultan Syarif Kasim yang tidak setuju dengan perjanjian-perjanjian yang dibuatnya dengan Belanda memilih meisahkan diri dan membangun perkampungan sendiri yang disebut dengan istilah “Kampung Luar”.
Sultan Syarif Kasim Alkadri wafat pada 25 Febuari 1819 dan dimakamkan di Batulayang.

2 comments:

  1. Syarif itu keturunan mana ya mas ? Jawa apa Arab ya ?

    ReplyDelete
  2. Arab, awalnya dari Sayid Habib Husein Alkadri yang merupakan ayaah dari pendiri kesultanan Pontianak

    ReplyDelete

Powered by Blogger.